…just random stuff of an awesome life.

Wednesday, April 04, 2018

Days in the shoe of a minority

Lorong sekolah di lantai dua itu menjadi saksi bisu sebuah kebencian pada suatu jam istirahat makan siang. Tidak ada orang selain dua siswa yang berjalan berlawanan arah; seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Bukan, yang akan digambarkan bukanlah adegan layar kaca dimana keduanya bertabrakan lalu salah satunya menjatuhkan buku dan akhirnya saling jatuh cinta. Akan tetapi sebuah drama dalam panggung sandiwara yang nyata; fenomena sosial yang tidak jarang berujung menjadi berita. Anak perempuan tersebut tidak pernah mencari atau bahkan membuat masalah di sekolah khususnya dengan anak laki-laki tersebut. Ia hanya mengambil sebuah langkah dalam prosesnya; menaati perintah untuk menutup aurat, ketika tiba-tiba penutup kepalanya ditarik dari belakang. Lalu siapa lagi yang hendak dicurigai? Anak perempuan tersebut hanya terdiam merapikan kembali penutup kepalanya dan menoleh ke belakang dengan penuh heran. 
"It's not a fault to practice my faith, but it's something wrong with him." tegasnya.
Tidak sekalipun dalam empat belas tahun hidupnya, penutup kepala, tepatnya jilbab, menjadi suatu atribut yang menimbulkan reaksi negatif hingga jam istirahat makan siang tersebut. Jika dibandingkan dengan negara asalnya, pengguna jilbab di negeri kanguru memang dapat terbilang jarang sehingga mungkin saja menjadi hal yang asing bagi sebagian orang. Berdasarkan The 2016 Australian Census, hanya 2,6% penduduk Australia yang beragama Islam dimana tidak seluruhnya menggunakan jilbab. Sementara Indonesia, negara dengan populasi lebih dari sepuluh kali lipat populasi Australia, didominasi oleh penganut agama Islam yang mencapai 87,18% menurut catatan Badan Pusat Statistik. Tidak heran apabila pelaksanaan ibadah bagi umat muslim di Australia tidak semudah di Indonesia. Dalam contoh lain yang sempat dialami oleh anak perempuan tersebut, ia harus pintar-pintar mencuri waktu untuk mengambil wudhu sehingga jam istirahat makan siang cukup baginya untuk melaksanakan shalat dzuhur lalu mengisi perut. Sebab, ia pernah mendapat pandangan yang seakan berkata “what the hell is this girl doing?” dari siswa lain ketika tertangkap mata sedang mengambil wudhu dari wastafel di dalam kamar mandi perempuan; dalam kata lain, ia mengusap seluruh bagian yang perlu dikenakan air termasuk mengangkat kakinya ke dalam wastafel karena tidak adanya fasilitas yang mendukungnya untuk mengambil wudhu.
Dua peristiwa yang telah dicontohkan hanya secuil dari sekian pengalaman yang anak perempuan tersebut peroleh. Mungkin memang tidak se-fenomenal layaknya peristriwa-peristiwa yang dimuat dalam berita, namun cukup memberikannya pelajaran yang berharga. Ia tidak hanya memperoleh kesempatan untuk merasakan empat musim, anak perempuan yang kini masih tetap berproses tersebut juga mendapatkan pengalaman untuk berpijak dengan alas dan melihat dari sudut pandang kelompok minoritas. Sebab ketika di tanah air, ia menjadi warga negara dengan mayoritas ganda; muslim dan jawa. Hal tersebut belum pernah ia sadari sebagai suatu “kemewahan” hingga kondisinya berbalik meski tidak seratus delapan puluh derajat. Australia dan Indonesia masih memiliki kesamaan dalam beberapa perihal salah satunya masyarakat yang multikultural. Akan tetapi, sekalipun saat itu ia mendapat kesempatan di negara selain Australia, perbedaan akan selalu ada baik yang tertangkap oleh mata ataupun sebaliknya. Ia menjadi suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari seorang pun kemana saja mereka berlari. Bahkan tak perlu melangkah keluar, di dalam negeri sendiri satu suku tidak selalu sependapat terhadap hal tertentu dalam adat mereka; sesama penganut agama yang sama belum tentu satu suara dalam interpretasi, aktualisasi, dan implementasi isi kitab suci. Ingat bahwa satu bulir padi gabuk tidak sepatutnya menjadi justifikasi bagi seluruh bulir dalam satu karung. Perbedaan bukan perkara anugerah atau bencana, namun "bagaimana?"; bagaimana menyikapi dan/atau menindakinya?

No comments:

Post a Comment