"Agama tidak melarang kita mengeluh, lebih-lebih kalau keluhan ditujukan pada Allah sambil berusaha. Ketika itu keluhan menjadi tanda optimisme. [...] Manusia mengeluh karena dia mengharap, dan pada saat dia mengharap - apalagi kalau kepada Allah - sebenarnya telah memenuhi jiwanya dengan optimisme."
- M. Quraish Shihab dalam Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Qur'an, 257.
Al-Qur'an telah menggambarkan manusia sebagai makhluk dengan sifat haluu' atau suka mengeluh dalam surat Al-Ma'aarij ayat 19. Bahkan seorang Rasulullah SAW pernah berkeluh kesah karena kaum musyrikin mengabaikan seruannya dan mencampakkan Al-Qur'an (lihat Q.S. Al-Furqan:30). Lalu terdapat nabi Ya'qub yang bersedih karena kehilangan putranya, Yusuf (lihat Q.S. Yusuf:86). Begitu pula nabi Ayyub yang secara beruntun kehilangan seluruh harta dan anak-anaknya, ditimpa penyakit kulit, dan ditinggalkan oleh para sahabat serta istrinya sendiri (lihat Q.S. Al-Anbiyaa': 83).
Memetik pelajaran dari kisah para nabi diatas, maka saat ditimpa kesusahan maupun kesedihan, tunggu apa lagi? "berkeluh kesah"-lah sepuasmu padaNya yang tidak pernah tidur dan Maha Mendengar serta "jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu" (Q.S. Al-Baqarah:153). Yakinkan diri pada janjiNya yang ditegaskan dalam surat Alam Nasyrah ayat 5-6 bahwa "Sesungguhnya bersama (sesudah) kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama (sesudah) kesulitan ada kemudahan".
Tidak hanya menggambarkan, surat Al-Ma'aarij juga memberi petunjuk agar terlindungi dari keburukan salah satu sifat manusia tersebut dalam ayat 20-35:
"Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan (harta) ia amat kikir, kecuali orang-orang yang melaksanakan shalatnya, mereka yang tetap setia mengejakan shalat, dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta), dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan, dan orang-orang yang takut terhadap azab Tuhannya. [...] Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. [...] Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya. Dan orang-orang yang memelihara shalatnya. Mereka itu (kekal) di surga lagi dimuliakan."
Karena ketika keluh kesah menjadi berlebihan atau bahkan suatu kebiasaan, ia tidak hanya rawan menjerumuskan diri pada golongan orang yang lemah dan tidak pandai bersyukur, namun juga dapat menularkan negative vibes pada orang lain terutama disekitarnya. Masih banyak perihal lain yang lebih bermanfaat untuk dibicarakan maupun dilakukan, dan bukankah "...jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya"? (Q.S. An-Nahl:18)
Lalu bagaimana dengan mengeluh pada sesama manusia?
Tidak ada salahnya ketika disampaikan dengan baik dan tidak berlebihan pada orang yang amanah dan/atau yang berkepentingan dengan hal yang dikeluh-kesahkan. Ibnu Khoyim dalam Udatu As-Sabirin menyatakan adapun menceritakan kepada orang lain perihal keadaan yang menimpanya dengan maksud meminta bantuan petunjuk atau pertolongan agar kesulitannya hilang maka hal tersebut tidak merusak sikap sabar karena seperti orang sakit yang memberitahukan tentang keluhannya pada dokter, korban yang mengadu pada orang yang dianggap dapat membelanya, dan orang yang tertimpa musibah menceritakan pada orang yang di harapkan dapat membantunya.
No comments:
Post a Comment