Atas minyak, bawah minyak.
Demikian slogan yang seringkali terdengar untuk menggambarkan provinsi sekaligus tuan rumah KKN Kebangsaan 2015.
Tak ayal, Riau membuktikannya sepanjang perjalanan dari Batalyon menuju kantor kecamatan; tempat seluruh kelompok wilayah kecamatan Siak Kecil berkumpul sebelum menuju desa masing-masing.
Pemandangan hijau di sisi kanan maupun kiri didominasi oleh perkebunan sawit yang luas. Sangat luas. Sesekali terlihat mesin berat, entah apa namanya, yang berfungsi dalam pengolahan minyak. Tidak luput pipa-pipa panjang nan berdiameter besar yang menghiasi pinggir jalan.
Seusai ramah-tamah dengan camat dan kepala masing-masing desa yang menjadi lokasi KKN, tidak seperti kelompok-kelompok lain yang langsung berangkat menuju tempat pengabdiannya, kelompok saya harus menunggu di rumah dinas camat hingga petang disebabkan oleh keterbatasan kendaraan yang layak untuk mengantarkan kami. Pada akhirnya, sekitar pukul 19:00 kami (baru) berangkat mengendarai ambulance Ya, kendaraan yang notabene digunakan untuk mengangkut pasien atau mayat. Sejujurnya tidak masalah sama sekali bagi saya karena selain sudah pernah beberapa kali sebelumnya meski hanya menjadi relawanbukan sebagai pasien, keluarga pasien, atau bahkan mayat, saya justru bersyukur karena akhirnya kami dapat berangkat menuju desa bahkan dengan tipe mobil (ambulance) yang cukup layak dari yang pernah saya naiki untuk melewati medan-medan sulit.
Awalnya tidak bertanya-tanya sedikit pun dengan kondisi jalan ataupun desa itu sendiri karena telah sedikit digambarkan oleh sang camat. Dalam benak ini membayangkan "Ah, paling cuma..". Akan tetapi perjalanan kami malam itu menguak yang sebenarnya. Jarak tempuh dari kecamatan menuju desa paling cepat 2 jam dengan sekitar 1½ jam perjalanan diatas jalan beraspal sedangkan sisanya penuh "kesabaran" dan ektra kehati-hatian.
Jalanan berbatu dan berdebu dengan lubang-lubang yang menghiasinya,
tanpa lampu penerangan dengan hutan di kedua sisi,
tidak lupa dua jembatan yang...
yah dapat anda lihat sendiri dalam gambar.
Apabila jembatan tersebut berbicara, mungkin ia sudah merintih dalam kondisinya yang demikian rupa karena tiada hari tanpa kendaraan bermuatan berat (hasil panen sawit) melintasinya.
Belum lagi jika hujan,
kayu-kayu jembatan tersebut menjadi licin,
dan jalanan pun bisa memakan korban.
Kondisi tersebut merupakan satu-satunya pilihan yang harus kami lalui selama 30 hari setiap kali hendak menghadiri kegiatan di kecamatan, berobat, maupun berbelanja ke pusat perekonomian terdekat untuk memenuhi kebutuhan pelaksanaan program.
Oh, sudahkah saya menyebutkan bagaimana kami mandi?
Pemandangan hijau di sisi kanan maupun kiri didominasi oleh perkebunan sawit yang luas. Sangat luas. Sesekali terlihat mesin berat, entah apa namanya, yang berfungsi dalam pengolahan minyak. Tidak luput pipa-pipa panjang nan berdiameter besar yang menghiasi pinggir jalan.
Seusai ramah-tamah dengan camat dan kepala masing-masing desa yang menjadi lokasi KKN, tidak seperti kelompok-kelompok lain yang langsung berangkat menuju tempat pengabdiannya, kelompok saya harus menunggu di rumah dinas camat hingga petang disebabkan oleh keterbatasan kendaraan yang layak untuk mengantarkan kami. Pada akhirnya, sekitar pukul 19:00 kami (baru) berangkat mengendarai ambulance Ya, kendaraan yang notabene digunakan untuk mengangkut pasien atau mayat. Sejujurnya tidak masalah sama sekali bagi saya karena selain sudah pernah beberapa kali sebelumnya meski hanya menjadi relawan
Awalnya tidak bertanya-tanya sedikit pun dengan kondisi jalan ataupun desa itu sendiri karena telah sedikit digambarkan oleh sang camat. Dalam benak ini membayangkan "Ah, paling cuma..". Akan tetapi perjalanan kami malam itu menguak yang sebenarnya. Jarak tempuh dari kecamatan menuju desa paling cepat 2 jam dengan sekitar 1½ jam perjalanan diatas jalan beraspal sedangkan sisanya penuh "kesabaran" dan ektra kehati-hatian.
(video tersebut diambil dalam perjalanan pulang setelah sebulan di desa)
tanpa lampu penerangan dengan hutan di kedua sisi,
tidak lupa dua jembatan yang...
Jembatan #1 |
Jembatan #2 |
close up jembatan #2 |
yah dapat anda lihat sendiri dalam gambar.
Apabila jembatan tersebut berbicara, mungkin ia sudah merintih dalam kondisinya yang demikian rupa karena tiada hari tanpa kendaraan bermuatan berat (hasil panen sawit) melintasinya.
Belum lagi jika hujan,
kayu-kayu jembatan tersebut menjadi licin,
dan jalanan pun bisa memakan korban.
Kondisi tersebut merupakan satu-satunya pilihan yang harus kami lalui selama 30 hari setiap kali hendak menghadiri kegiatan di kecamatan, berobat, maupun berbelanja ke pusat perekonomian terdekat untuk memenuhi kebutuhan pelaksanaan program.
Oh, sudahkah saya menyebutkan bagaimana kami mandi?
Bukan. Bukan. Alhamdulillah warga menyambut hangat kehadiran kami dan salah satu kepala keluarganya berbaik hati menampung kami di kediamannya, bahkan memperlakukan kami seperti keluarga sendiri, sehingga tidak perlu mandi di tempat seperti dalam gambar diatas.
Akan tetapi yang menjadi pengalaman baru bagi saya pribadi adalah airnya.
Air "teh" |
Ya, hampir seluruh kegiatan yang menggunakan air kecuali masak, minum, dan makan, menggunakan air seperti dalam gambar diatas. Tentu bukan literally air teh, hanya warnanya saja yang serupa. Air tersebut sebenarnya merupakan air lahan gambut. Penggunaan air mineral dalam galon untuk masak, minum, dan makan belum lama berlangsung di desa tersebut karena distribusinya baru beberapa bulan sebelum kedatangan kami. Dahulu warga memanfaatkan air hujan dengan menampungnya meski hingga saat kami disana banyak warga yang masih melakukannya untuk berjaga-jaga.
Selain air, adaptasi juga perlu dilakukan dalam kaitannya dengan penggunaan energi. Terbatasnya persediaan listrik dari pukul 18:00-24:00 membuat kami menunggu hingga kurun waktu tersebut untuk mandi sore jika air dalam bak mandi sudah habis, mengandalkan senter atau lampu teplok untuk mengambil wudhu saat subuh, mencuci di malam hari (bagi yang menggunakan mesin cuci), bergantian menggunakan setrika karena hampir seluruh colokan dipenuhi charger telepon genggam, laptop, maupun alat elektronik lainnya, dan berbaring di lantai untuk melepas lelah sekaligus mendinginkan diri setelah keliling bersilaturahmi dari pintu ke pintu rumah warga di siang hari sebagai salah satu strategi edukasi informal tentang karhutla (kebakaran hutan dan lahan gambut).
Last but not least, agar tetap dapat berkomunikasi, mau tidak mau saya harus mengganti nomor telepon karena sinyal yang tersedia hanya dari provider Telk*msel. Dalam jam-jam tertentu pun kadang tidak ada sinyal sama sekali.
Ini bukan di negeri dongeng.
Ini di Indonesia,
di sebuah wilayah yang (katanya) melimpah minyak di atas maupun bawahnya.
No comments:
Post a Comment