Dilatarbelakangi oleh sebuah kejadian saat sejumlah kakak angkatan sedang menghabiskan waktu, entah untuk apa, di sepanjang lorong depan ruang jurusan dengan sebagian duduk di bangku dan sebagian yang lain di lantai.
Aku yang hendak melewati lorong di depan ruang jurusan dengan sadar agak membungkukkan badan sambil mengucapkan permisi dan terus berjalan. Eits, tidak lupa dengan senyum manis :) karena tersenyum adalah ibadah. It's sunnah! Hehe.
Beberapa melihat aneh tindakanku tersebut, dan ketika tinggal dua-tiga langkah melewati deretan kakak angkatan tersebut, salah seorang kakak angkatan yang duduk di bangku di bagian ujung berkata sambil tertawa ringan padaku "Koyok nang dosen ae, dek." (Seperti kepada dosen saja, dek., red.)
Aku pun membalas "sopan tidak hanya pada dosen saja kok, mbak." dan berlalu.
Without any intention to be racist,
I'm a javanese, and in my tradition, it's a manner/a courtesy to stoop our body (membungkukkan badan, red.) around 30-45 degrees when we're walking in front of the elders.
Why stooping the body?
I'm not saying that it's the absolute answer, but in my opinion, stooping the body illustrates that we're lowering our position of dignity or superiority, in another word, humbling ourselves to respect the elders.
Beside the lesson that was given by my parents, which explain why i just done that naturally like how i usually do in the familiar case (people simply call it "habit"), personally as a javanese, I think that it's appropriate to civilize that and other related values in everyday life.
...because how could "Java", in terms of sociocultural, last long while the javanese itself doesn't live it?
No comments:
Post a Comment