Hari kedua UTS semester II.
Penyakit musiman panen (lagi): NYONTEK!
Kenapa? Nggak terkesan surprise ya?
Ya, ya, doesn't seem to be a shameful thing to do anymore. Terlebih di lingkungan akademik.
Pelakunya pun nggak pandang bulu..
dari para pelajar (baca: Sejumlah Siswa Tertangkap Mencontek), guru sekolah tingkat dasar hingga menengah (lihat: Guru Menyontek Saat Ujian Semester di Universitas Terbuka, Polewali Mandar, Sulbar), hingga calon guru besar Universitas Negeri (baca: Tiga Calon Guru Besar UPI Ketahuan Menyontek).
Dulu (jaman si penulis SD), secara garis besar ada dua cara (dalam konteks saat ujian); nyontek dan ngrepek.
Nyontek, nggak lain ya tanya ke orang di tempat duduk terdekat. Bahkan ada yang nekat tanya ke (satu-satunya) orang yang dianggapnya pinter/bisa, padahal tempat duduk orang itu jauh.
Kalo ngrepek itu permainan "inti-intipan". Si penulis menyebutnya seperti itu karena sang pelaku ngrepek biasanya curi-curi kesempatan buat (secara sembunyi-sembunyi) ngelihat referensi entah dari catatan/buku.
Seiring berubahnya zaman menjadi zaman informasi dengan didukung perkembangan teknologi, metode menyontek pada dasarnya masih seperti yang telah disebutkan, namun semakin bervariasi pelaksanaannya.
Dewasa ini, sepengetahuan si penulis, media yang paling sering menjadi "jembatan" informasi adalah telepon genggam a.k.a handphone. Entah itu sebar jawaban lewat sms, sharing ke group di social network, cari referensi di search engine, sampe foto catatan-catatan penting.
Pra-UTS untuk mata kuliah kedua hari ini penulis isi dengan berdiskusi dan saling tukar pendapat dengan beberapa teman mengenai materi yang sekiranya akan diujikan.
Kemudian segerombolan mahasiswi lewat. Salah satu diantaranya berkata sambil cengengesan
"Aku lho nggak belajar hari ini".
Miris mendengarnya, mulut si penulis terpancing sehingga secara spontan berkomentar lirih
"Ih, nggak belajar kok bangga. Trus ntar nyontek gitu? Nggak malu tuh nyontek?"
Yah mungkin sensitifitas itu salah satu efek dari menonton sebuah film pendek (lihat di previous posting) yang cukup JLEB!, disamping muaknya si penulis terhadap korupsi yang semakin marak dan rasa prihatin atas fenomena-fenomena semacamnya yang semakin memperburuk citra tanah air di muka dunia.
Memang, nggak dipungkiri kalo dalam sejarah si penulis sendiri juga pernah nyontek atau pun ngrepek.
Dan karena pernah itulah, ia mengambil pelajaran yang pada akhirnya menanamkan pandangan bahwa menyontek itu nggak lain adalah (salah satu) bibit dari kebohongan yang lebih besar lagi di kemudian hari, termasuk korupsi. Tentunya pandangan itu juga penulis imbangi dengan komitmen sekaligus aksi nyata dalam bentuk berusaha semaksimal mungkin tidak menyontek/ngrepek lagi.
Penyakit musiman panen (lagi): NYONTEK!
Kenapa? Nggak terkesan surprise ya?
Ya, ya, doesn't seem to be a shameful thing to do anymore. Terlebih di lingkungan akademik.
Pelakunya pun nggak pandang bulu..
dari para pelajar (baca: Sejumlah Siswa Tertangkap Mencontek), guru sekolah tingkat dasar hingga menengah (lihat: Guru Menyontek Saat Ujian Semester di Universitas Terbuka, Polewali Mandar, Sulbar), hingga calon guru besar Universitas Negeri (baca: Tiga Calon Guru Besar UPI Ketahuan Menyontek).
Dulu (jaman si penulis SD), secara garis besar ada dua cara (dalam konteks saat ujian); nyontek dan ngrepek.
Nyontek, nggak lain ya tanya ke orang di tempat duduk terdekat. Bahkan ada yang nekat tanya ke (satu-satunya) orang yang dianggapnya pinter/bisa, padahal tempat duduk orang itu jauh.
Kalo ngrepek itu permainan "inti-intipan". Si penulis menyebutnya seperti itu karena sang pelaku ngrepek biasanya curi-curi kesempatan buat (secara sembunyi-sembunyi) ngelihat referensi entah dari catatan/buku.
Seiring berubahnya zaman menjadi zaman informasi dengan didukung perkembangan teknologi, metode menyontek pada dasarnya masih seperti yang telah disebutkan, namun semakin bervariasi pelaksanaannya.
Dewasa ini, sepengetahuan si penulis, media yang paling sering menjadi "jembatan" informasi adalah telepon genggam a.k.a handphone. Entah itu sebar jawaban lewat sms, sharing ke group di social network, cari referensi di search engine, sampe foto catatan-catatan penting.
- - -
Pra-UTS untuk mata kuliah kedua hari ini penulis isi dengan berdiskusi dan saling tukar pendapat dengan beberapa teman mengenai materi yang sekiranya akan diujikan.
Kemudian segerombolan mahasiswi lewat. Salah satu diantaranya berkata sambil cengengesan
"Aku lho nggak belajar hari ini".
Miris mendengarnya, mulut si penulis terpancing sehingga secara spontan berkomentar lirih
"Ih, nggak belajar kok bangga. Trus ntar nyontek gitu? Nggak malu tuh nyontek?"
Yah mungkin sensitifitas itu salah satu efek dari menonton sebuah film pendek (lihat di previous posting) yang cukup JLEB!, disamping muaknya si penulis terhadap korupsi yang semakin marak dan rasa prihatin atas fenomena-fenomena semacamnya yang semakin memperburuk citra tanah air di muka dunia.
Memang, nggak dipungkiri kalo dalam sejarah si penulis sendiri juga pernah nyontek atau pun ngrepek.
Dan karena pernah itulah, ia mengambil pelajaran yang pada akhirnya menanamkan pandangan bahwa menyontek itu nggak lain adalah (salah satu) bibit dari kebohongan yang lebih besar lagi di kemudian hari, termasuk korupsi. Tentunya pandangan itu juga penulis imbangi dengan komitmen sekaligus aksi nyata dalam bentuk berusaha semaksimal mungkin tidak menyontek/ngrepek lagi.
Saat seseorang menyontek,
ia membohongi (paling tidak) dirinya sendiri.
Ia sama saja tidak mempercayai dirinya sendiri atas kemampuan yang ia miliki, kemampuan yang dapat ia gali lebih dalam. Lalu, mengapa orang lain harus percaya padanya saat dirinya sendiri pun tidak?
Ia membohongi dirinya untuk penghargaan (nilai) yang ia dapatkan.
Ia tersenyum bangga atas kelulusan yang ia raih. Lulus apa "LOLOS" nih?
Saat seseorang menyontek,
ia (juga) membohongi orang-orang yang telah mempercayainya.
Ia mendustakan kepercayaan orang tua yang tidak pernah berhenti menaruh harapan pada anaknya lewat doa-doa. Lupa ya pada Mereka?
Ia membalas cucuran keringat hasil kerja keras orang tua dengan nilai-nilai (ketidakjujuran)-nya, kelolosan, eh.. kelulusan, yang ia raih, maupun gelar yang ia dapatkan.
Dan masih banyak lagi pihak-pihak yang secara tidak langsung ia dustakan saat menyontek, termasuk Tuhan.
Masih banggakah anda menyontek? Think again!
No comments:
Post a Comment