Malam itu sudah tak lagi hujan.
Mereka putuskan beranjak dari masjid dan pulang dengan pakaian yang masih basah meski harus melawan gerimis.
Langit semakin gelap untuk lebih lama lagi berteduh, terhitung sejak pagi mereka telah keluar bersama menghabiskan waktu.
Dalam perjalanan, sambil menyetir sepeda motor ia mendengarkan kawannya, "Kamu jangan mau kalah dengan Universitas itu. Tunjukkan kalo kamu bisa meskipun bukan mahasiswa Universitas itu. Bahkan kalau perlu, lebih baik daripada mereka".
Tidak seperti biasanya, kali itu ia memilih bungkam. Tidak satu patah kata pun ia temukan untuk membantah. Bahkan jika ia menemukan, semangat membantahnya telah ditepis oleh kata-kata dari kawannya tersebut.
Tetap sambil menyetir, pandangannya ke depan namun kosong.
Kata-kata dari kawannya tadi masih menggema dalam pikirannya.
"Ya, aku harus bisa" batinnnya. aan/181
Malam yang tak kalah dingin dengan malam sebelumnya,
kedua roda sepeda motornya masih berputar menyusuri jalanan basah yang belum lama terguyur hujan.
Beberapa detik kemudian, tak sengaja ia melihat seorang bapak berjongkok dengan kepala tertunduk di sebuah halte bis. Terlihat dua boks bertuliskan "sol sepatu" yang disambung dengan sebatang bambu yang telah diasah untuk mempermudah memikul keduanya.
Sambil tetap menyetir sepeda motor ia spontan bertanya pada kawannya, "Kamu nggak pengen nge-sol sepatumu?", karena sekian banyaknya kendaraan lain yang berlalu-lalang di jalan raya tersebut, kawannya tidak mendengarnya dengan jelas.
"Sepatumu nggak pengen di-sol?" tanyanya ulang.
"Uhm.. nggak dulu deh, sepatuku masih baru" jawab kawannya.
Mendengar jawaban kawannya, ia langsung teringat pada bapaknya. Biasanya, setiap ada alas kaki baru, entah sepatu, sepatu sandal, atau sandal, bapaknya yang paling giat mengingatkannya agar segera membawa alas kaki tersebut untuk di-sol supaya lebih kuat sehingga tahan lama.
"Memang kenapa?", pertanyaan kawannya sontak memecah ingatannya tersebut.
"Oh itu lho, ada sol sepatu tadi" jawabnya.
Ia sengaja menawarkan pada kawannya karena sepatu yang ia kenakan saat itu baru saja beberapa hari yang lalu di-sol-kan sehingga tak mungkin di-sol-kan lagi, namun bukan itu latar belakang sebenarnya. Ia hanya berniat menyalurkan belas kasihannya lewat bantuan dengan cara menghargai usaha pak "sol sepatu" tersebut, bukan justru mengatasnamakan belas kasihan untuk menanamkan mental ketergantungan pada orang lain.
Roda sepeda motor masih berputar, dan jalanan masih belum kering,
masih dalam perjalanan yang sama, mengantarkan kawannya pulang ke rumah,
ia tak sengaja menemukan pemandangan dimana seorang ibu penjual keripik singkok di pinggir jalan raya melayani pembelinya. Dengan mengenakan daster dan kerudung sederhana, ibu tersebut menjajakan dagangannya dengan gerobak yang berkawankan lentera dan udara malam yang dingin.
Masih sambil mengendarai, tidak ada lagi yang spontan muncul dalam tafsirannya mengenai 'pemandangan' tersebut kecuali "Demi Sang Buah Hati". Pada detik yang sama, kedua matanya berkaca-kaca. "Terlalu banyak mengeluh dan menuntut. Maaf belum bisa memberikanmu apa-apa, bu", ia merasa bersalah. aan/191
Mereka putuskan beranjak dari masjid dan pulang dengan pakaian yang masih basah meski harus melawan gerimis.
Langit semakin gelap untuk lebih lama lagi berteduh, terhitung sejak pagi mereka telah keluar bersama menghabiskan waktu.
Dalam perjalanan, sambil menyetir sepeda motor ia mendengarkan kawannya, "Kamu jangan mau kalah dengan Universitas itu. Tunjukkan kalo kamu bisa meskipun bukan mahasiswa Universitas itu. Bahkan kalau perlu, lebih baik daripada mereka".
Tidak seperti biasanya, kali itu ia memilih bungkam. Tidak satu patah kata pun ia temukan untuk membantah. Bahkan jika ia menemukan, semangat membantahnya telah ditepis oleh kata-kata dari kawannya tersebut.
Tetap sambil menyetir, pandangannya ke depan namun kosong.
Kata-kata dari kawannya tadi masih menggema dalam pikirannya.
"Ya, aku harus bisa" batinnnya. aan/181
Malam yang tak kalah dingin dengan malam sebelumnya,
kedua roda sepeda motornya masih berputar menyusuri jalanan basah yang belum lama terguyur hujan.
Beberapa detik kemudian, tak sengaja ia melihat seorang bapak berjongkok dengan kepala tertunduk di sebuah halte bis. Terlihat dua boks bertuliskan "sol sepatu" yang disambung dengan sebatang bambu yang telah diasah untuk mempermudah memikul keduanya.
Sambil tetap menyetir sepeda motor ia spontan bertanya pada kawannya, "Kamu nggak pengen nge-sol sepatumu?", karena sekian banyaknya kendaraan lain yang berlalu-lalang di jalan raya tersebut, kawannya tidak mendengarnya dengan jelas.
"Sepatumu nggak pengen di-sol?" tanyanya ulang.
"Uhm.. nggak dulu deh, sepatuku masih baru" jawab kawannya.
Mendengar jawaban kawannya, ia langsung teringat pada bapaknya. Biasanya, setiap ada alas kaki baru, entah sepatu, sepatu sandal, atau sandal, bapaknya yang paling giat mengingatkannya agar segera membawa alas kaki tersebut untuk di-sol supaya lebih kuat sehingga tahan lama.
"Memang kenapa?", pertanyaan kawannya sontak memecah ingatannya tersebut.
"Oh itu lho, ada sol sepatu tadi" jawabnya.
Ia sengaja menawarkan pada kawannya karena sepatu yang ia kenakan saat itu baru saja beberapa hari yang lalu di-sol-kan sehingga tak mungkin di-sol-kan lagi, namun bukan itu latar belakang sebenarnya. Ia hanya berniat menyalurkan belas kasihannya lewat bantuan dengan cara menghargai usaha pak "sol sepatu" tersebut, bukan justru mengatasnamakan belas kasihan untuk menanamkan mental ketergantungan pada orang lain.
Roda sepeda motor masih berputar, dan jalanan masih belum kering,
masih dalam perjalanan yang sama, mengantarkan kawannya pulang ke rumah,
ia tak sengaja menemukan pemandangan dimana seorang ibu penjual keripik singkok di pinggir jalan raya melayani pembelinya. Dengan mengenakan daster dan kerudung sederhana, ibu tersebut menjajakan dagangannya dengan gerobak yang berkawankan lentera dan udara malam yang dingin.
Masih sambil mengendarai, tidak ada lagi yang spontan muncul dalam tafsirannya mengenai 'pemandangan' tersebut kecuali "Demi Sang Buah Hati". Pada detik yang sama, kedua matanya berkaca-kaca. "Terlalu banyak mengeluh dan menuntut. Maaf belum bisa memberikanmu apa-apa, bu", ia merasa bersalah. aan/191
Demi your and my dream, we never give up! #Man jadda wa jada
ReplyDeleteman shabara zhafira :) apa pun yang terjadi, tetep yakin dan semangat! innallaha ma'ana.
Delete"…and know that victory comes with patience, relief with affliction, and ease with hardship.” (Tirmidhi)
Ada yg pernah blang, bila pikiran itu adlah doa. Jdi, slalu tasbihkan, "Aku pasti bisa" :)
ReplyDelete