Lorong
sekolah di lantai dua itu menjadi saksi bisu sebuah kebencian pada suatu jam
istirahat makan siang. Tidak ada orang selain dua siswa yang berjalan
berlawanan arah; seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Bukan, yang
akan digambarkan bukanlah adegan layar kaca dimana keduanya bertabrakan lalu
salah satunya menjatuhkan buku dan akhirnya saling jatuh cinta. Akan tetapi
sebuah drama dalam panggung sandiwara yang nyata; fenomena sosial yang tidak
jarang berujung menjadi berita. Anak perempuan tersebut tidak pernah mencari
atau bahkan membuat masalah di sekolah khususnya dengan anak laki-laki
tersebut. Ia hanya mengambil sebuah langkah dalam prosesnya; menaati perintah
untuk menutup aurat, ketika tiba-tiba penutup kepalanya ditarik dari belakang.
Lalu siapa lagi yang hendak dicurigai? Anak perempuan tersebut hanya terdiam
merapikan kembali penutup kepalanya dan menoleh ke belakang dengan penuh heran.
"It's not a fault to practice my faith, but it's something wrong with him." tegasnya.
Tidak
sekalipun dalam empat belas tahun hidupnya, penutup kepala, tepatnya jilbab,
menjadi suatu atribut yang menimbulkan reaksi negatif hingga jam istirahat
makan siang tersebut. Jika dibandingkan dengan negara asalnya, pengguna jilbab
di negeri kanguru memang dapat terbilang jarang sehingga mungkin saja menjadi
hal yang asing bagi sebagian orang. Berdasarkan The 2016 Australian Census, hanya 2,6% penduduk Australia yang
beragama Islam dimana tidak seluruhnya menggunakan jilbab. Sementara Indonesia,
negara dengan populasi lebih dari sepuluh kali lipat populasi Australia,
didominasi oleh penganut agama Islam yang mencapai 87,18% menurut catatan Badan
Pusat Statistik. Tidak heran apabila pelaksanaan ibadah bagi umat muslim di
Australia tidak semudah di Indonesia. Dalam contoh lain yang sempat dialami
oleh anak perempuan tersebut, ia harus pintar-pintar mencuri waktu untuk
mengambil wudhu sehingga jam istirahat makan siang cukup baginya untuk
melaksanakan shalat dzuhur lalu mengisi perut. Sebab, ia pernah mendapat
pandangan yang seakan berkata “what the
hell is this girl doing?” dari siswa lain ketika tertangkap mata sedang
mengambil wudhu dari wastafel di dalam kamar mandi perempuan; dalam kata lain,
ia mengusap seluruh bagian yang perlu dikenakan air termasuk mengangkat kakinya
ke dalam wastafel karena tidak adanya fasilitas yang mendukungnya untuk
mengambil wudhu.
Dua
peristiwa yang telah dicontohkan hanya secuil dari sekian pengalaman yang anak
perempuan tersebut peroleh. Mungkin memang tidak se-fenomenal layaknya
peristriwa-peristiwa yang dimuat dalam berita, namun cukup memberikannya
pelajaran yang berharga. Ia tidak hanya memperoleh kesempatan untuk merasakan
empat musim, anak perempuan yang kini masih tetap berproses tersebut juga
mendapatkan pengalaman untuk berpijak dengan alas dan melihat dari sudut
pandang kelompok minoritas. Sebab ketika di tanah air, ia menjadi warga negara dengan
mayoritas ganda; muslim dan jawa. Hal tersebut belum pernah ia sadari sebagai suatu
“kemewahan” hingga kondisinya berbalik meski tidak seratus delapan puluh
derajat. Australia dan Indonesia masih memiliki kesamaan dalam beberapa perihal
salah satunya masyarakat yang multikultural. Akan tetapi, sekalipun saat itu ia
mendapat kesempatan di negara selain Australia, perbedaan akan selalu ada baik yang
tertangkap oleh mata ataupun sebaliknya. Ia menjadi suatu keniscayaan yang tidak
dapat dihindari seorang pun kemana saja mereka berlari. Bahkan tak perlu melangkah keluar, di dalam negeri sendiri satu suku tidak selalu sependapat terhadap hal tertentu dalam adat mereka; sesama penganut agama yang sama belum tentu satu suara dalam
interpretasi, aktualisasi, dan implementasi isi kitab suci. Ingat bahwa satu bulir padi gabuk tidak sepatutnya menjadi justifikasi bagi seluruh bulir dalam satu karung. Perbedaan bukan perkara anugerah atau bencana, namun "bagaimana?"; bagaimana menyikapi dan/atau menindakinya?
No comments:
Post a Comment